Assalamualaikum, HAI !
Ini bukan tulisan iseng aja, tapi tulisan ini untuk memenuhi tugas responsi mata kuliah minor Sosiologi Pedesaan hehe.
Silahkan dibaca...
Sebagai
mahasiswa yang pernah ditolak saat mengikuti
“open recruitment” kegiatan bina desa,
saya jadi merasa sedikit ‘malas’ untuk mendaftar kegiatan yang berhubungan
langsung dengan desa. Untuk berbuat baik, kenapa harus diseleksi, kata teman
saya. Padahal saat itu kecintaan dan rasa penasaran saya tentang desa lagi
besar-besarnya. Makanya untuk pemenuhan tugas ini hanya satu pengalaman yang
saya miliki, yang mengantarkan terbukanya pikiran saya akan desa, yaitu
kegiatan Bina Cinta Lingkungan yang diadakan wajib oleh TPB IPB semester genap
kemarin. Awalnya banyak sekali mahasiswa TPB yang malas ikut karena saat itu
hari sabtu atau minggu dan sebisa mungkin digunakan untuk mengerjakan tugas
atau istirahat tetapi kata “wajib” mengantarkan kami pada desa.
Desa Purwasari
Saat
itu saya dan teman kelas S02 mengunjungi Desa Purwasari yang letaknya tidak
terlalu jauh dari kampus IPB Dramaga. Kira-kira satu jam perjalanan kami menempuhnya
menggunakan angkutanot yang telah disewakan kampus. Jalan yang kami tempuh
beliku, berbatu, dan hanya ada satu lajur untuk angkot, jadi jika ada kendaraan
yang lewat berlawanan arah, kendaraan yang kami tumpangi harus bergantian
dengan kendaraan lain yang menyebabkan
macet, apalagi jalan yang dilalui menanjak dan menurun dengan kondisi kendaraan
angkutan kota yang ami tumpangi penuh terisi oleh dua belas orang termasuk satu
supir dan kondekturnya.
Selama
perjalanan beberapa teman yang satu angkot dengan saya ada yang tidur karena
lamanya perjalanan, tapi banyak dari kami lebih suka menikmati apa yang
disajikan jalan. Bagaimana tidak, kanan kami jurang dan kiri kami sawah belum
lagi pemandangan jauh didepan adalah birunya gunung, entah gunung apa namanya.
Singkat cerita kami sampai di tujuan kami, Desa Purwasari. Begitu turun dari
angkot yang saya lihat adalah banyaknya bangku yang sudah terjajar rapi dan
beberapa pemimpin desa siap menyambut kami. Kurang lebih jumlah kami, yang
mngunjungi 120 orang dan kami
dipersilahkan duduk. Ya kami duduk dikusi yang dijajarkan sepanjang jalan dan
sekitar puluhan kursi dijejerkan di tempat yang ternyata tempat penampungan
sampah dan gerobak-gerobak sampah, pantas saja selama saya duduk, indra
penciuman saya mencium bau kurang sedap. Sambutan singkat pimpinan desa dan
ucapan selamat datang bagi kami menjadi pembuka.
Tujuan
kami ke desa tersebut adalah melihat kondisi desa dan membantu aktivitas warga desa
dalam waktu setengah hari. Ya kurang lebih kami disana sekitar delapan jam.
Kelompok saya ternyata ditugaskan untuk mmbantu seorang bapak yang berprofesi
sebagai petugas kebersihan di desa tersebut. Okelah kami masing-masing memegang
satu karung kosong. Bapak tersebut mengajak kami kerumah warga yang paling
dekat dari tempat kami berdiri dan mengangkut sampah dari rumah tersebut. Tidak
seperti yang saya bayangkan ternyata setiap kami memenuhi karung kami dengan
sampah, kami angkut karung tersebut ke tempat kami berdiri di awal. Jadi
pengangkutan sampah tidak dilakukan dengan bantuan gerobak sampah apalagi mobil
kecil petugas kebersihan yang saya tahu seperti di tempat saya tinggal.
Saya
jadi membayangkan beratnya pekerjaan bapak petugas kebersihan. Belum lagi jalan
yang mendaki dan menurun dari rumah satu warga ke rumah warga yang lain.
Beberapa keluhan yang saya dengar dari bapak petugas kebersihan yaitu :
1.
Kurangnya
kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungannya sendiri. Masyarakat masih
banyak yang belum sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan, masih banyak
yang buang sampah sembarangan khususnya di beberapa RT sehingga membuat bapak
dua kali kerja, mengangkut sampah dan menyapu tempat yang terdapat sampah itu.
2.
Keluhan
lain adalah sistem pembayaran yang didapatkan bapak petugas kebersihan. Jadi
sebelumnya tidak ada petugas kebersihan yang resmi diangkat oleh pemimpin desa
atau Kepala Desa. Kurang lebih baru tiga bulan ini bapak bekerja sebagai
petugas kebersihan, masalah pembayaran atau gaji ternyata merupakan uang
patungan warga dan bukan dari pemerintah desa. Masalahnya pembayaran yang
seringkali terlambat bahkan petugas keamanan yang bertugas di Purwasari sudah
tiga bulan tidak mendapat pembayaran akan kinerjanya.
3.
Keluhan
terakhir akan kurangnya personil. Misalnya di petugas kebersihan hanya ada satu
orang yang bekerja di satu desa, jelas memberatkan karena dilihat dari jumlah
sampah yang terkumpul tiap hari dan kurangnya prasarana kebersihan yang
memadai.
Ketika
semua sampah terkumpul, kami membawa ke tempat pengumpulan sampah. Ternyata
disana ada gerobak sampah yang merupakan sumbangan dari IPB atau bantuan dari
Pemerintah Daerah Jawa Barat kalau saya tidak salah, tetapi gerobak itu tidak
bisa digunakan untuk mengankut sampah ke tempat warga dikarenakan akses yang
tidak memadai. Jalan antar rumah warga kecil dan sulit dilewati gerobak sampah
jadi prasarana yang aa tidak digunakan maksimal.
Saya
juga mengobrol dengan warga mengenai pekerjaan penduduk, pendidikan anak-anak,
kondisi perekonomian penduduk, dan lingkungan. Saya mendapatkan info bahwa
penduduk setempat bekerja bisa dilihat dari umurnya. Misalnya orang tua yang
umurnya diatas empat puluh tahun mayoritas bekerja sebagi petani, umur
dibawahnya yaitu anak-anak dari para petani tersebut bekeja di pabrik atau
penjaga toko yang ada disekitar desa. Mengenai pendidikan, penduduk desa yang
bekerja sbagai petani banyakyang tidak lulus SD, asalkan bisa membaca dan
menulis katanya. Anak-anak mereka kebanyakan lulus SMP dan SMK. Ketika saya
tanyakan apakah pendapat bapak kalo anak bapak ingin lanjut belajar sampai
perguruan tinggi. Jawaban bapak itu “yaaah neng, uangnya darimana? Kuliah
mahal, mau kuliah mesti pinter, saingannya banyak”. Saat itu saya menjawab
“saya kuliah gratis pak, bahkan mendapat uang saku tiap semesternya dari
pemerintah karena kondisi ekonomi keluarga saya kurang mampu, di kampus saya,
IPB banyak mahasiswa beasiswanya pak. Tenang aja, asal rajin belajar sama
semangat anak bapaknya. Bapak juga harus ngedukung anak bapak”. “ooh bisa
seperti itu ya neng? Waaahh nanti saya bilang deh ke anak saya biar rajin
belajar. Saya mah sebagai orangtua hanya bisa berdoa dan mendukung”.
Membahas
kondisi perekonomian penduduk, ternyata penduduk desa Purwasari yang bekerja
sebagai petani dan pembudidaya ikan adalah hanya sebagai pekerja bukan pemilik
sawah ataupun kolam ikan tersebut. Info yang saya dapat, pemilik sawah dan
kolam adalah “orang Jakarta” ternyata kolam dan sawah itu awalnya punya warga
tetapi lama-kelamaan karena mungkin harga tanah yang semakin mahal jadilah
warga menjual tanah tersebut ke orang yang sering berkunjung ke Desa Purwasari
itu. Mereka mengetahui bahwa pemilik dari sawah, kolam dan sumber-sumbr mata
pencaharian yang berhubungan dengan alam dimiliki oleh orang berada tersebut.
Mereka hanya menggarap dan mendapat upah beberapa persen dari pendapatan
penjualan hasil garapan mereka.
Kondisi
lingkungan yang saya amati dari desa ini adalah adanya sumber air bersih yang
terpusat di satu tempat. Air bersih ini digunakan untuk seluruh keperluan warga
seperti memasak, minum, mencuci, dan mandi. Ada seorang ibu yang sedang mencuci
ditempat itu saya ajak mengobrol. Ternyata belum ada pipa yang mengalirkan airi
ini ke setiap rumah warga, jadi warga mau tidak mau harus mengambil air dari
pusat ini. Air yang terpusat di tempat itu disedot menggunakan mesin pompa yang
penggunaannya dan perawatannya bersama. Setelah ibu tadi selesai mencuci,
kelompok kami membantu membawa ember berisi cucian bersih yang telah dicuci.
Jumlahnya ada tiga ember penuh dan itu dibawa ibunya sendiri setiap mncuci.
Jarak pusat air tempat mencuci tadi kurang lebih dua ratus meter dengan arah
menanjak ke rumah ibu tadi. Bisa dibayangkan bagaimana ibu-ibu disana
mengguakan tenaga yang cukup besar.
Kondisi
lingkungan yang saya amati lagi adalah ada satu kolam di sekitar rumah Pak RW
yang diatasnya ada kandang ayam. Saya teringat materi kuliah Pengantar Ilmu
Pertanian yang dapat mengkolaborasikan fungsi antara aspek satu dan yang
lainnya. Ternyata di desa tersebut ilmu itu sudah diterapkan. Satu lagi adanya
bangunan dari bambu yang menurut warga adalah tempat yang dibuat oleh mahasiswa
IPB, saya lupa namanya, tapi tempat itu sebagai tempat pengolahan sampah yang
terkumpul di desa tersebut. Disana juga ada pelatihan dari mahasiwa tentang
pengolahan limbah organik menjadi pupuk dan non-organik menjadi bahan yang
dapat digunakan selanjutnya sehingga mengurangi volume sampah yang dibuang
percuma.
|
Kami dan anak-anak Desa Purwasari yang sama gemesinnya |
Oh
yaaa, selama kami membantu bapak petugas kebersihan sampai kami selesai
mengerjakan tugas kami disana, kami diikuti oleh beberapa anak-anak kecil
berumur empat sampai tujuh tahun. Ada sekitar enam orang anak yang ikut terus
dengan kami. Mereka senang katanya ada kunjungan seperti ini. Mereka ikut
berfoto, mereka tidak sungkan untuk meminta gendong ketika lelah, keceriaan,
senyum, dan semangat mereka menggambarkan potensi daerah mereka.
Sebelum
kami berkumpul dengan semua anggota kelas kami, anak-anak tersebut menunjukkan
kami bahwa ada sungai didekat kami sekarang. Ajakan itu langsung kami sambut
baik. Dekat ternyata jaraknya, hanya sekitar seratus meter dari pusat
penampungan air tadi. Sungai tersebut banyak terdapat batuan besar dan arus
yang deras. Seketika anak-anak itu melepas alas kaki dan langsung berpindah
dari satu batu ke batu lain. Saya yang melihat hanya bisa teriak melarang,
khawatir anak-anak itu terjatuh karena licinnya batu, tetapi teman saya yang
masa kecilnya seperti itu mengingatkan kalau mereka sudah biasa, jadi tenang saja.
Kami
terpaksa menyudahi main basah-basahan di sungai mengingat waktu yang terbatas
dari rundown kegiatan. Anak-anak itu meminta gendong sampai rumah dan yaaa
rasanya lelah ditambah berat pundak ini menggendong mereka tapi kami menikmati.
Kami antar mereka sampai rumah dan kami kembali berkumpul dengan sluruh
kelompok.
Disana
sudah tersedia makanan berupa nasi, ikan, lalap, tempe tahu, sayur yang sengaja
dibuatkan oleh warga untuk kami mahasiswa yang datang. Ikan yang diambil dari
kolam dan langsung dimasak jelas kesegarannya. Kami menikmati makanan bersama
warga dan kepala desa, serta petugas kebersihan dan keamanan.
Secara
keseluruhan yang saya dapatkan dari desa Purwasari adalah keramahan dan sopan
santun penduduknya. Pemandangan alam yang ditampilkan juga luar biasa
mengindahkan mata. Selarasnya lingkungan sosial dan alam yang tersaji dari Desa
Purwasari ini mengingatkan saya bahwa potensi besar ini dapat dikembangkan.
Pengembangan utama yang dapat dilakukan adalah dari segi pendidikan. Jika di
Jakarta tempat asal saya, sekolah dasar sampai menengah atas sudah dibebaskan
biaya, seharusnya desa juga bisa mendapat hak seperti itu juga. Saya lihat
disana ada satu bangunan yang ernyata adalah skolah Pendidikan Anak Usia Dini
yang diasuh langsung oleh Departemen IKK, IPB. Sekolah PAUD tersebut juga
menggunakan tenaga dari warga desa yang memiliki potensi dalam mengajar dan
mendidik. Setidaknya satu gerakan sudah dimulai.
Akses
ke sekolah terdekat yang saya dapatkan adalah kurang lebih tiga kilometer,
anak-anak harus jalan atau menggunakan angkot setiap bersekolah. Nah untuk
memudahkan sebaiknya dilakukan perbaikan jalan dan pembuatan jalan alternatif
berupa jembatan yang menghubungkan dua desa yang dipisahkan oleh sungai karena
lokasi sekolah yang sudah ada berada di desa sebelah yang harus ditempuh dengan
memutar jalan jauh jika tidak adanya jembatan.
Dari
segi perekonomian penduduk, menurut saya sawah dan kolam yang dimiliki “orang
Jakarta” tersebut harus jelas pembagian hasilnya. Mereka bisa mendapatkan bibit
terbaik untuk ikan dan padi dari pemerintah seharusnya, bukan beli dari
pemiliktersebutyang jatuhnya memberatkan penduduk. Koperasi desa,
program-program pemerintah daerah yang berbasis kewirausahaan wajib
dikembangkan di desa, agar terciptanya masyarakat desa yang berdaya. Pelatihan beternak,
berkebun, mengolah sumberdaya, pengemasan, pemasaran juga harus diperhatikan.
Jika
pelatihan dan pengontrolan kegiatan penduduk telah berjalan dengan baik, saya
yakin kondisi lingkungan yang berkelanjutan dapat mengikuti selaras kemajuan
desa tersebut. Jika masyarakat sudah mandiri dalam menghidupi dirinya, desa
sudah berdaya, pemerintahan teratur melakukan kewajiban dan haknya, hasilnya
Indonesia yang sedang berkembang ini bisa menjadi negara maju.
Hidup
Pertanian Indonesia.
Hidup
Rakyat Indonesia.
Hidup
Indonesia.