Obrolan dalam Kereta Senen-Pekalongan (...1...)

Pages

Obrolan dalam Kereta Senen-Pekalongan (...1...)


Kereta baru bergerak sekitar 15 menit yang lalu. Di luar kereta pemandangan berupa perumahan padat dengan sedikit pohon begitu cepat terlewati. Berganti lahan kosong dengan pohon-pohon pisang dan berganti rumah kembali. Di sebelah kananku, nomor kursi 21 c seorang ibu sedang menyuapi anak kecil laki-laki berusia 5 tahun makan nasi. Memang jam di telepon genggamku menunjukan pukul dua belas lewat dua puluh, masih jam makan siang. Aku mengambil makanan ringan seharga dua ribuan (lebih dikenal dengan kukil atau kue kiloan) yang ku beli tadi malam. Kue belang hitam putih yang dinamai kuping gajah karena memang bentuknya menyerupai kuping gajah. Sulit membuka bungkusnya dengan tangan dan aku tak membawa gunting.
Bapak yang duduk di depanku dengan nomor kursi 21 b menawari bantuan untuk membukanya.
“Sini coba sama bapak” dan plastik tebal tersebut terbuka. Bapak tadi memberikannya padaku
“Terima kasih pak” kataku.
Ku tawari Bapak tadi, teman disampingku, dan anak kecil yang sejak tadi disuapi ibunya untuk mencoba jajanan itu. Mereka semua tak ada yang menolak.
Sepanjang lorong kereta, ada petugas yang mendorong rak besi berisi piring-piring berisi makanan dan menawari penumpang untuk membeli makanan yang diolah di dapur kereta tersebut. Ada juga petugas yang membawa tumpukan bantal dan menawari untuk menyewa bantalnya dan mengencangkan suaranya
 “Sewa bantal lima ribu rupiah Pak, Bu”.
 Bantal sangat cocok untuk penumpang yang berada dalam kereta ini dengan tujuan jauh. Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Malang Jawa Timur. Jika pemberangkatan jam dua belas siang seperti ini setidaknya kereta ini akan sampai besok subuh. Untungnya untuk sampai Pekalongan hanya membutuhkan waktu lima jam.
Bapak berusia sekitar lima puluhan tahun yang duduk di depanku menghentikan petugas itu dan menyewa satu bantal, ia menawariku apa aku ingin menyewa juga. Ku perhatikan tumpukan bantal yang dibawa. Aku menggeleng dan mengatakan terima kasih karena sudah menawari.
Bapak berbaju putih dengan topi berwarna biru donker ini sudah memulai pembicaraan denganku semenjak kereta bergerak dari stasiun senen. Awalnya beliau bertanya apakah aku menaiki kereta ini secara rombongan karena melihat ku yang membuat pembicaraan dengan beberapa orang di gerbong dan saling bertukar makanan.
Ia juga bertanya dari manakah kami, sebuah organisasi atau hanya bertujuan untuk berlibur. Aku menjelaskan bahwa kami berasal dari satu kampus yang sama yaitu IPB, tetapi dengan jurusan yang berbeda. Lima belas orang dari kami adalah mahasiswa dan lima orang dokter hewan. Tujuan kami ke Kota Pekalongan. Kami memiliki sebuah tugas untuk mendatangi satu desa, mendata jumlah ternak dan menghitung berapa berat badan sapi dengan mengukur lingkar tubuh, dan panjang badan sapi. Dengan wajah bingung bapak tersebut bertanya apa itu IPB dan apa saja yang kami lakukan di IPB itu.
Aku dan teman disampingku saling berpandangan heran. Bapak ini menggunakan baju dengan saku bertuliskan KLH dan tas kecil yang berada dipangkuannya bertuliskan Kementerian Lingkungan Hidup. Aneh pikirku masa tidak tahu apa itu IPB dan apa saja yang kami lakukan. Kujawab bahwa IPB adalah kampus pertanian yang berada di Bogor.
 Temanku menjawab sambil tertawa “disana kami belajar Pak”.
 Aku pun ikut tertawa.
Bapak tadi bertanya lagi apakah di dekat Taman Kencana ada laboratorium untuk penelitian dokter hewan. Aku menggeleng, yang aku tahu taman kencana adalah salah satu tempat nongkrongnya warga bogor dan tidak ada lab disana. Apalagi tagline baru kota Bogor sebagai Kota Sejuta Taman menambah keyakinanku bahwa Taman Kencana hanya sebuah taman tanpa laboratorium penelitian bagi dokter hewan.
Bapak tadi dengan antusias bertanya lagi dimana kami berkuliah apakah kampus Dramaga atau Baranangsiang dan apakah kami tinggal di asrama.
Belum aku menjawab pertanyaan itu, temanku lebih cepat menjelaskan bahwa kampus Dramaga diperuntukkan untuk sarjana dan baranangsiang untuk diploma.
“Dramaga mah buat s1 Pak, kalo Baranangsiang buat DIII hehehe” kata temanku.
Aku melanjutkan “kita semester lima pak jadi udah ngekos dan ngontrak. Asrama mah udah selesai pas TPB”
TPB adalah tahap persiapan bersama. Selama tahun pertama masuk kuliah kami belajar semua mata pelajaran SMA. Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Matermatika, Ekonomi, Sosiologi, Fisika, Kimia, Biologi, Agama, dan lainnya. Setauku yang menerapkan sistem TPB ini adalah IPB dan ITB. Tujuannya agar kita mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan yang selanjutnya digunakan di departemen atau jurusan masing-masing. Untuk IPB, nama TPB sudah berganti menjadi PPKU atau Program Pembinanan Kompetensi Umum sejak tahun 2015.
Kereta terus berjalan dan sudah memasuki Jawa Barat. Stasiun Tambun Bekasi sudah terlewat sejak tadi. Pemandangan di luar lebih didominasi oleh sawah dan pohon-pohon.
Temanku tiba-tiba bertanya pada bapak tadi “Jangan-jangan bapak dulu kuliah di IPB ya?” dengan menyelidik.
Aku jadi fokus menunggu jawaban bapak tadi. Dan ikut menyelidik “iya ya pak?”
“bisa jadi” bapak tadi menjawab sambil sedikit terkekeh
Aku dan temanku tertawa
“bener kan daritadi nih bapaknya nanyanya begitu” kataku
Aku langsung meminta tangan bapak tadi untuk salaman. Diikuti temanku. Rasa takzim dengan seorang alumni yang kutemui dalam kereta ini seketika muncul.
Pembicaraan kami makin seru dan banyak yang kami bahas. Banyak juga nasihat yang kami terima dari seorang “kakak alumni” yang juga seuisia “ayah”.
Temanku menawari permen padaku dan bapak tadi. Sepertinya bapak itu tak tahu bahwa itu permen karet. Ia mengambilnya. Aku memakannya dan memainkannya menjadi seperti balon yang bisa ditiup.
Dengan mnjawab pertanyaan bapak tersebut aku bercerita bahwa rumahku dekat stasiun senen. Tepatnya di Kemayoran. Aku alumni SMA 1 Jakarta Budi Utomo. Dan ternyata kakaknya bapak itu adalah juga alumni SMA yang sama denganku. Kali ini ia akan mengunjungi kakaknya di Kota Malang.
Tak kalah rasa ingin tahu ku, aku juga bertanya mengapa bapak sendirian pergi ke Malang mengapa tidak mengajak anak dan istrinya. Bapak tadi bercerita panjang. Bercerita bahwa kehidupan rumah tangga tidak selamanya baik, ada enaknya ada gak enaknya. Kali ini keadaan ia dan istrinya sedang kurang baik dan ia memutuskna untuk pergi sejenak ke rumah kakaknya. Selain refresh pikiran ia juga bisa menjaga silaturahmi dengan keluarganya.
Aku bersyukur mendapat tambahan ilmu. Ilmu berumah tangga.
Bapak tadi menanyai jurusan kuliahku. Aku berkuliah di fakutas ekologi manusia. Fakultas yang diisi oleh tiga departemen yaitu Gizi Masyarakat (GM), Ilmu Keluarga Dan Konsumen (IKK) , dan Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat (SKPM).
“Ilmu Keluarga Dan Konsumen Pak. Dulunya bergabung dengan gizi bernama GMSK. Ya kan pak?. Nah semenjak 2005 dipisah menjadi dua dan membentuk satu fakultas baru. Ya FEMA ini”.
Memang Gizi masyarakat dan sumber daya keluarga dahulunya berada di sospol fakultas pertanian IPB, sehingga alumni IPB lebih mengenal GMSK daripada IKK.
Bapak juga asli Jakarta. Rumahnya di sekitar Halim Perdana Kusuma. Ia mempersilahkan kami untuk main ke rumahnya jika ada waktu.

Selanjutnya bapak menceritakan pengalamannya selama ia berkuliah. Ia terbiasa mengikuti aksi mahasiswa yang lebih dikenal masyarakat dengan demo. Ia mengaku pernah berjalan sepanjang jalan tol jagorawi karena menuntut kebijakan pemerintah waktu dulu. Ia juga bercerita banyak tentang kisah cinta selama kuliah, tradisi mahasiswa IPB jaman dulu dan mitos yang berkembang di kebun raya Bogor.
Kereta berhenti di stasiun Cikampek atau Purwakarta. Aku lupa. Yang aku tahu sekarang sudah pukul dua siang. Banyak penumpang kereta yang sudah terlelap dan mungkin bermimpi juga berharap ketika membuka mata sudah sampai pada tujaun masing-masing. Penumpang yang turun bergantian dengan penumpang baru. Memenuhi kursi-kursi yang masih kosong. Sekitar 10 menit kereta berhenti...

Tidak ada komentar :