Perjalanan akan selalu manis. Akan
bertemu masyarakat dan ilmu baru. Mengenal, merasa, dan berbagi. Sama seperti
manisnya perjalananku pertama kali ke Negeri Batik, Pekalongan. Perjalanan ini
begitu manis, aku menyukainya karena lebih tepatnya gratis. Gratis biaya
perjalanan, makan, dan menginap.
“Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kau
dustakan?” .
Aku secara sengaja
mendaftarkan diri pada acara kampusku. Program dari Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat yang dinamai IPB goes to Field. Dimana pada dasarnya
kegiatan ini berlangsung selama tiga minggu tetapi karena kami ini program
tahap dua nantinya kami hanya selama lima hari akan ditempatkan di suatu desa
dan melakukan banyak hal. IGTF ini tersebar di Jawa, Nusa Tenggara Barat dan
juga Muara Enim Palembang. Awalnya aku sangat antusias mendaftarkan diri untuk
ikut terbang ke Palembang, tetapi waktunya bersamaan dengan mengisi teater
acara Gerakan Kebaikan Keluarga Indonesia.
Pendaftaran dan pengumuman
peserta berlangsung kurang dari 24 jam. Aku menyerahkan berkas jam tiga sore
dan pengumuman malam harinya. Reaksiku? Sungguh senang walaupun tidak tahu sama
sekali apa tugasku disana. Kewajibanku setelahnya adalah mengikuti briefing esok siangnya. Dari lima belas
daftar mahasiswa lolos yang aku baca, ternyata tiga orang telah ku kenal
sebelumnya. Ade dari Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, aku mengenalnya ketika
kita satu divisi dalam satu kepanitiaan penerimaan mahasiswa tahun lalu. Fiki
Zeh dari Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, aku mengenalnya dari
pertama kuliah, ia koordinator fakultas beasiswaku, dan teman dalam satu
kepanitiaan juga bareng Ade. Dan Fitdri, dari Teknologi Mesin dan Biosistem,
kami pernah satu UKM dan satu panggung teater. Dengan yang lainnya, aku buta.
Aku tidak mengenal mereka.
Segala persiapan, pembagian
kelompok, pemilihan ketua sekretaris dan bendahara sudah terlewati. Aku sebagai
bendahara, Ade sebagai sekretaris, dan Fiki sebagai ketua. Ternyata kami akan
mengunjungi masyarakat yang juga sebagai peternak. Di Pekalongan, tepatnya Desa
Kaliombo banyak sekali masyarakat yang memiliki hewan ternak sehingga
dibentuklah Sekolah Peternakan Rakyat. Tugas kami disana adalah melakukan
pendataan jumlah sapi, perkiraan pengukuran berat badan sapi yang dapat
diketahui dengan mengukur lingkar perut, panjang dan tinggi sapi. Sebenarnya
aku takut. Tidak berani sama sekali. Bagaimana untuk mengukur sapi, memegang
binatang saja aku takut. Tapi dengan proporsi jumlah peserta perempuan delapan
dan laki-laki tujuh orang. Maka setiap kelompok pasti terdapat satu lelaki yang
akan melakukan tugas itu. Aku lega.
Pembelian kayu, pita ukur, tiket
kereta semuanya telah siap. Perjalanan dimulai dari Stasiun Senen. Dekat sekali
dengan rumahku. Maka dari itu aku putuskan untuk berangkat dari rumah.
Sedangkan yang lain dari Bogor. Semua perlengkapan termasuk baju, sepatu,
almamater, topi lapang, celana olahraga, gantungan baju dan sebagainya telah
padat dalam satu tas jinjing. Entah sejak kapan aku membiasakan diri membawa
gantungan baju ketika pergi dengan waktu lumayan lama. Setidaknya sangat
berguna untuk menggantung pakaian untuk acara formal, ataupun menggantung
pakaian yang harus segera di cuci seperti pakaian dalam.
Jadwalnya kereta berangkat tepat
pukul 12.05 WIB. Rombongan mahasiswa dari Bogor menggunakan APTB dan aku
sekitar jam 9 berangkat dari rumah diantar ayahku. Ayahku sempat kesal karena
kami tidak menemui teman-temanku di area stasiun yang bisa dijangkau kaki
setiap sudutnya. Ternyata teman-temanku sedang mengisi perut di salah satu
warteg belakang Gelanggang Olahraga Senen. Memang central Senen ini sangat
strategis. Letaknya di pusat Jakarta, ada stasiun, terminal, pasar, toko
grosir, mall (Atrium), Plaza Senen, Gelanggang Olahraga, Kolam renang, Bioskop,
dan apalagi disampingnya ada pasar Poncol sebagai pusatnya barang bekas dari
elektronik sampai pakaian. Lengkap kan sebagai pusat ekonomi di perkotaan dan
sudah pasti macet, polusi dan debu juga ikut meramaikan central Senen ini.
Semua telah lengkap dan aku pamit
kepada ayah. Kami menunggu kedatangan kereta, dan segera menuju peron. Setelah
melewati pengecekan tiket dan kartu identitas sebanyak dua kali kami menunggu
di tempat antrian penumpang. Ramai, penuh dan cerah sekali siang itu. Sekitar
sepuluh menit kereta datang dan kami menuju tempat duduk. Kami terpisah-pisah.
Tetapi untungnya sebelahku Ade. Tempat duduk berhadap-hadapan. Baru saja aku
mengambil posisi duduk. Bapak berusia lanjut yang masih sangat bugar di depanku
menitipkan tasnya. Ia mengatakan tidak kuat dinginnya udara kereta ini. Ia
keluar gerbong dan akan naik ketika kereta akan bergerak. Bapak tadi penasaran
dan bertanya apakah kami rombongan.
Darimana kami berasal dan kemana tujuan
kami. Apa yang ingin kami lakukan dan banyak yang lainnya. Dengan pertanyaan
menyelidik, dan ku dapati bahwa aku dan bapak tadi satu almamater. Ya kami satu
kampus dengan perbedaan 38 angkatan. Aku angkatan 51 dan bapak tersebut
angkatan 13. Usiaku 20 tahun dan usia beliau kurang lebih 58 tahun, seusia
ayahku.
Tunggu Part II-nya yaaa...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar